Menanti Meranti ( Chapter 1.)

        (Kalau kamu tidak percaya pada cinta sejati, sama aku juga. Tapi kalau kamu mau lihat seperti apa jika benar ada, coba selami kisah cinta sehidup semati ini) 


              Sore kemarin Wira masih duduk ditempat biasa dia menanti Meranti, di teras rumahnya yang saat ini menghadap langsung ke jalan raya besar. Entah sudah berapa puluh tahun dia melakukan hal yang sama, hingga ajal menjemputnya lima jam yang lalu sore tadi.

Isak tangis sanak keluarga serta para tetangga terdengar pilu memenuhi ruangan, si mbok terlihat sibuk mengatur persiapan pengurusan jenazah dengan salah satu layanan profesional yang sudah dipesan sejak lama oleh Wira sendiri.

“Aku sekarang sebatang kara Syim, yang seperti ini harus aku persiapkan dari jauh-jauh hari, mana tega aku ngerepotin kamu terus?wong pinggangmu wae wes sering sambat to?hahaha”

Canda Wira, sesaat setelah dia selesai melakukan proses administrasi pendaftaran salah satu layanan proteksi pemakaman di daerah kami via online, aku menyeruput kopi yang sudah disajikan si mbok dari 15 menit yang lalu, yah menginjak usia 51 tahun mungkin memang sudah waktunya untuk memikirkan hal seperti ini, apa aku daftar juga supaya nggak merepotkan istri dan anak-anakku ya?fikirku kala itu.

Aku masih terduduk mematung di sudut ranjang kamar Wira, tak sepenuhnya percaya apa yang telah terjadi, sahabatku sejak bangku SMP telah pergi untuk selamanya, tepat di usianya yang 62 tahun 7 hari yang lalu. Sesaat mataku terpaku pada koper kecil yang tergeletak terbuka di lantai tepat disebelah nakas, setengah bagiannya condong masuk kebawah ranjang, melihat ada beberapa amplop surat yang tersebar berantakan disekitarnya, kemungkinan besar koper itu adalah benda terakhir yang disentuh oleh Wira di saat-saat terakhirnya.

Wira dahulu tumbuh sebagai seorang pemuda yang ramah nan lincah dan terkenal di desaku, semua orang menyukainya akan kecerdasan serta sikap santunnya. Salah satu kebiasaannya dahulu di sore hari yaitu bersepeda santai dan menyapa setiap orang yang ditemuinya, terkadang dia juga tidak sungkan untuk memberhentikan sepedanya sebentar dan membantu mbah putri atau mbah kakung yang dilihatnya sedang menyapu teras sendirian, tidak jarang pula dia menjadi teknisi dadakan untuk radio tabung Mbah Yul yang padahal hanya sekedar digeprak sedikit bagian belakangnya sudah langsung menyala lagi. Maka dari itu tidak ada yang nggak suka sama Wira di desa ini, sungguh aku tidak berlebihan karna memang seperti itulah adanya, dia mudah beradaptasi dengan warga sekitar yang sebagian besarnya adalah hasil dari didikan orang tuanya yang berbudi pekerti baik juga, padahal bapaknya adalah seorang kaya raya yang tersohor namanya dan sangatlah bisa dan pantas kalau dia memiliki perangai yang sombong nan angkuh.      

“Meranti, jika Tuhan datang kepadaku saat ini dan berkata akan mengabulkan 1 pintaku apapun itu, sungguh aku hanya ingin bertemu denganmu bahkan jika setelah itu jiwa harus meninggalkan raga ini, dan kamu selalu tau kemana harus pergi...”

Air mataku mulai menitik saat melihat ratusan surat didalam koper kulit kecil coklat miliknya yang sudah tua itu, aku ingat bagaimana dia dengan bangga bercermin didepan kaca kamarku mematut diri dengan setelan jas coklat dan koper kulit kecil yang dikirimkan Meranti melalui kantor pos, itu adalah satu hari sebelum dia berangkat ke Negeri Sakura, setelah menerima kabar bahwa dia diterima di salah satu perusahaan media cetak sebagai Senior Editor 7 hari sebelumnya. Tak sadar ada senyum getir di bibirku saat merutuki Wira didalam hati, bagaimana bisa sahabatnya yang nyaris sempurna itu malah harus menjalani hidup yang penuh kehampaan, hingga akhir hayatnya tak dapat dia miliki kisah cinta yang diimpi-impikannya bersama Meranti.

“Aku rindu botok buatan ibumu ti, disini makanannya aneh-aneh, bahkan pernah aku sampai bolak-balik kamar mandi 3 hari berturut-turut sehabis makan Chuka Ikado atau apalah itu namanya makanan yang terbuat dari gurita yang diasamkan, sudahlah pokoknya nanti pulang setelah taruh tas dan salim sama si mbok aku langsung lari ke rumahmu untuk minta makan, titik.”


- Bersambung -

Komentar